Rabu, 28 Desember 2011

TEORI EKONOMI - MARHAENISME DAN KEDAULATAN EKONOMI (soeseno)


Oleh : Soeseno , Universitas Jember

1. Menjelang umur republik yang ke 69 tahun ini masih terdengar cukup keras gugatan terhadap kemandirian negara dalam mengelola perekonomian, terutama kekayaan negara berupa sumberdaya alam yang melimpah. Gugatan itu didasarkan pada kenyataan bahwa paska reformasi tidak terjadi perubahan yang nyata terhadap kondisi perekonomian nasional, bahkan cengkraman koorporasi internasional semakin dalam pada perekonomian nasional. Tuduhan bahwa perekonomian digerakan oleh rezim “ neolib” mewarnai wacana perbincangan mulai dari pakar sampai sikap para  pengunjuk rasa dijalan. Harapan – harapan yang ditumpukan pada reformasi tidak menjadi kenyataan, bahkan sampai saat ini , setelah reformasi berjalan 13 tahun, penguasaan asing dalam pengelolaan kekayaan negara masih cukup  besar (60%) disemua sektor (Kompas,23 Mei). Saya tidak akan menambah daftar panjang, bukti-bukti bahwa kita gagal merebut kedaulatan dibidang ekonomi lebih-lebih paska reformasi, karena saya termasuk sebagian kecil rakyat yang tidak percaya bahwa reformasi memang akan membawa perbaikan atau memperkuat kedaulatan ekonomi itu. Reformasi yang lebih kuat digerakan oleh kepentingan global memang tidak dimaksudkan untuk itu. Tetapi lebih untuk memperkuat masuknya modal luar pada penguasaan ase-aset domestik.

2.Diantara para penggugat dan pengritik gagalnya negara mengembalikan kedaulatan di bidang ekonomi, terdapat para pakar yang juga memberikan solusi, mulai dari yang lunak seperti perbaikan-perbaikan pelaksanaan di tingkat sektoral dan koordinasi antar sektor dengan sasaran memperkuat integrasi pasar ( Faisal Basri) sampai pada solusi yang cukup mendasar yaitu memberikan haluan baru kebangkitan ekonomi ( Ekonomi konstitusi ). Namun demikian semua kerangka berpikir dibalik pertimbangan memberikan solusi tersebut masih dalam bingkai (frame) kesadaran berpikir paradigma ekonomi liberal yang dikritiknya. Seperti misalnya, saran agar pemerintah membangun/memperbaiki infrastrukur untuk menjamin pasar domestik yang terintegrasi, sehingga biaya transaksi menjadi murah dan pasar menjadi efisien. Dengan pasar yang efisien menjamin  pengolahan bahan baku  berbagai penjuru tanah air dapat dilakukan di dalam negeri, sehingga nilai tambah dari bahan baku yang selama ini dinikmati luar negeri, dapat dinikmati masyarakat domestik. Hal ini tampaknya rasionil. Anggapan dasar dari saran ini tetap, bahwa pelaku pasar adalah individu-individu yang rasionil, yang akan menjamin terjadinya keseimbangan diantara mereka, dengan tidak memperhitungkan pengaruh modal sebagai instrument persaingan utama dalam pasar. Selama penguasan modal (alat-alat produksi) tidak ditangan masyarakat luas, pasar yang efisien juga tidak akan berfungsi untuk mensejahterakan masyarakat. Gagasan yang lain seperti dapat dibaca pada buku Ekonomi Konstitusi, haluan baru kebangkitan ekonomi Indonesia, sudah memberikan tekanan bahwa perekonomian harus dikelola berdasar amanat konstitusi. Hal ini memberi pemahaman bahwa pengelolaan perekonomian selama ini sudah keluar melenceng dari amanat konstitusi kita. Disamping bersifat normative, bagaimana menjabarkan dalam praktek amanat konstitusi  tersebut, tetap menggunakan pendekatan sektoral dan partikularis ( terpisah-pisah). Paradigma “moda produksi kolonial” masih menjadi dasar dalam penjabarannya sehingga belum menjawab persoalan dasar bangsa secara lebih struktural. Mengingat persoalan kedaulatan ekonomi adalah memerlukan penyelesaian secara struktural, maka saran yang disampaikan belum menjawab akar sebenarnya permasalahan kedaulatan ekonomi.

3.Lalu bagaimana  menjawab persoalan kedaulatan ekonomi yang semakin jauh ditangan bangsa ini?  Dan selanjutnya jika secara konsepsional jawaban itu ditemukan, apakah mungkin dapat dilaksanakan dalam suasana sistim ekonomi yang semakin terbuka, terintegrasi secara global dengan berbagai kepentingan yang saling jalin menjalin?  Untuk menjawab persoalan tersebut, baiklah kita menengok kembali apa sebenarnya yang dipikirkan para bapak pendiri bangsa saat mereka bersepakat mendirikan Negara Indonesia yang merdeka. Salah satu pemikiran yang menonjol dan jauh disampaikan sebelum Indonesia merdeka adalah “marhaenisme” oleh Soekarno. Pertanyaannya, apakah masih relevan saat ini membicarakan sebuah cita-cita sebuah ideologi yang para penganutnya atau bahkan para penuturnya sudah semakin hilang? Marilah kita tengok, Negara yang mengalami kemajuan sangat pesat dibidang ekonomi, sekedar untuk diperbandingkan, Cina. Dalam tinjauan terhadap “Wawasan Ilmiah Cina dalam Pembangunan” ditemukan karakter budaya yang sudah sangat lama ribuan tahun dan mendalam dipahami oleh bangsa Cina yaitu, daoisme, konfusianisme dan budhisme  seebagai dasar dan pedoman arah bagaimana membangun Cina yang modern. Semasa “ Revolusi Kebudayaan” ketiga pandangan kebijaksanaan tersebut ditenggelamkan dan diharamkan, tetapi dalam membangun Cina paska Revolusi Kebudayaan dipelajari kembali dan dijadikan sebagai pedoman  bagaimana , teori dan konsepsi pembangunan harus diarahkan (Galtung, Juli 2008), sehingga bangsa Cina mengalami kemajuan pesat saat ini, karena ketiga pandangan filsafat itu bukan saja tidak  bertentangan dengan ideologi partai yang berkuasa bahkan menjadi pedoman dalam setiap langkah progresif kearah kemajuan. Analogi dari pandangan ini bukan tidak mungkin pemikiran marhaenisme jika dipahami  secara serius dan mendalam menjadi pedoman pembentukan teori dan  konsepsi untuk diwujudkan dalam perspektif pembangunan ekonomi Indonesia dimasa yang akan datang, dan dapat menjawab persoalan struktural yang dihadapi bangsa, sehingga mencapai kedaulatan ekonomi.

4.Marhaenisme diperkenalkan semasa Indonesia belum lahir dan dalam suasana peri kehidupan ekonomi rakyat dikuasai oleh moda produksi kolonial, dimana rakyat hanya diperlakukan sebagai pekerja upahan. Soekarno melihat ada petani kecil yang tetap menguasai alat-alat produksi pertaniannya yang mampu bertahan dalam keterbatasannya ,sehingga dapat di idealkan menjadi kondisi rakyat Indonesia yang dapat digerakan kearah kemajuan. Sebagai sebuah ideologi, marhaenisme menjadi ideologi penantang dari rezim penjajah yang berkuasa yang bertumpu pada ideologi kapitalisme, dimana sebagian besar  alat-alat produksi ( sumber daya alam dan modal ) dikuasai oleh penguasa. Sosio Demokrasi yang merupakan asas bagaimana kelak susunan peri kehidupan kebangsaan di alam kemerdekaan  dijalankan, dan dalam bidang ekonomi bagaimana susunan perekonomian harus dibangun agar dapat mengangkat martabat kaum marhaen menuju kemakmuran, memerlukan cara-cara perjuangan. Cara perjuangan itu, tetap bertumpu bagaimana penguasaan alat-alat produksi dapat dilakukan  untuk kemakmuran rakyat. Salah satu upaya setelah kemerdekaan adalah melakukan “nasionalisasi” perusahaan-perusahaan Belanda/Asing yang masih beroperasi di Indonesia. Upaya ini dapat dipandang dalam rangka merebut alat-alat produksi, walaupun dalam pelaksanaanya ternyata alat-alat produksi itu tidak dikuasai oleh rakyat sebagaimana disyaratkan dalam sosio demokrasi, tetapi dikuasai oleh aparat negara yang baru terbentuk, dengan mengatas namakan negara, untuk memperkaya diri. Kondisi kaum marhaen dengan alat produksi yang dikuasai oleh asing maupun oleh bangsa sendiri tidak jauh berbeda. Kaum marhaen tetap dijauhkan dari penguasaan alat-alat produksi di alam kemerdekaan, dan mereka tatap kaum kecil miskin dan melarat secara ekonomi, sehingga marhaenisme tetap perlu diperjuangakan.

5.Fakta-fakta bahwa penguasaan alat-alat produksi nasional sampai saat ini belum sepenuhnya ditangan rakyat dan kesadaran rakyat justru didorong kearah konsumen barang-barang yang bahan bakunya dihasilkan dinegeri sendiri, maka kedaulatan ekonomi semakin jauh dari harapan, lebih-lebih kemakmuran kaum marhaen. Untuk itu diperlukan teori dan konsepsi yang dibimbing marhaenisme, dalam  menjawab permasalahan bangsa. Teori dan konsepsi yang menjadi dasar konstruksi dari sitim ekonomi kemarhaenan , sebagaimana setiap sistim ekonomi, harus mampu menjawab ketersediaan secara berkelanjutan pangan, sandang, papan dan kesejahteraan rakyat berupa pendidikan dan kesehatan. Hal ini memerlukan perluasan kegiatan ekonomi pada rakyat sekaligus penguasaan alat-alat produksi oleh rakyat. Negara berperan sentral dalam menjamin seluruh kegiatan perekonomian  untuk tetap pada sasaran kemakmuran rakyat dan menjaga stabilitas perekonomian secara nasional. Sistim yang menjamin dan dapat dioperasionalkan secara praktek ,menurut saya ,jika semua kegiatan perekonomian terutama disektor produksi, distribusi bahan-bahan primer secara bertahap dilaksanakan secara gotong royong. Dengan gotong royong dimaksudkan penguasaan alat-alat produksi dimiliki bersama oleh rakyat, sistim distribusi juga menjamin penguasaan oleh rakyat, Negara menjamin terlaksananya sistim gotong royong ini berjalan dengan lancar, untuk itu semua infrastruktur yang diperlukan menjaga kelancaran sistim perekonomian disediakan dan diawasi oleh Negara. Dengan demikian, setidaknya disektor primer penghasil bahan baku, semua nilai tambah produksi nasional akan dinikmati oleh rakyat. Lebih lanjut diharapkan kedaulatan ekonomi dengan bimbingan marhaenisme terwujud. Sudah barang tentu, konsepsi ini memerlukan perjuangan disemua lapangan , terutama lapangan politik.

6.Sebagai ilustrasi dan pernah menjadi konsep yang diteliti oleh IPB, adalah bagaimana jika dalam tata kelola industri gula nasional, sebagian alat produksi gula (pabrik gula) kepemilikannya diserahkan kepada rakyat, mengingat rakyat sudah memiliki sebagian alat produksi berupa tanah. Konsep ini dierkenalkan sebagai spin off pabrik gula. Latar belakang pemikiran ini berdasar pada kenyataan bahwa, harga maupun ketersediaan gula sangat fluktuatif. Pada saat harga gula mahal, petani tebu tidak menikmati nilai tambah dari harga gula, sebaliknya pada saat harga gula murah, petani merugi yang selanjutnya beralih pada tanaman lain yang lebih menguntungkan. Situasi yang demikianlah yang menjadikan persoalan gula, sebagai barang primer, tidak pernah terpecahkan selama bertahun-tahun. Konsep ini pernah dijalankan , justru di negara yang disebut kapitalis Amerika ( A.Pakpahan). Dengan kepemilikan oleh rakyat, mulai dari sejak awal proses tebu ditanam  sampai pada distribusi gula, rakyat sebagai pemilik memiliki hak memutuskan, sehingga cukup efisien karena tidak diperlukan biaya-biaya yang tidak terkait dengan produksi, seperti biaya manajemen yang sangat mahal. Rente ekonomi yang menjadi kebiasaan dalam tata niaga komoditi pertanian dapat dihilangkan dan nilai tambah jatuh kepada petani tebu. Peran negara adalah disamping menjamin tersedianya modal saat proses awal dimulai, dan menjamin dsitribusi oleh rakyat pemilik gula lancar, dengan membantu terbangunnya kelembagaan tata niaga yang dapat diawasi oleh rakyat.  Paling tidak jika sistim ini dijalankan, akan lebih baik dari sistim yang lain dan menjamin kedaulatan ekonomi khususnya kedaulatan pangan terjamin.  Ilustrasi ini setidaknya sebagai bahan pemikiran awal, lebih-lebih jika diterapakan pada semua sektor penghasil bahan baku pertanian, maka diperlukan kajian yang lebih mendalam.

7.Dengan ilustrasi diatas, konsepsi ekonomi gotong royong memungkinkan terjadinya perubahan secara struktural pada susunan perekonomian. Pertama struktur penguasaan alat-alat produksi pokok yang sebelumnya dikuasai orang per orang atau Negara beralih menjadi dikuasai oleh sebagian besar rakyat. Jika itu dilakukan dibidang pertanian, setidaknya menjamin sekitar 70% rakyat menguasai aset. Kedua, berpindahnya nilai tambah yang dihasilkan kepada sebagian besar rakyat. Hal ini merupakan salah satu kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan struktural.   Ketiga, sebagai implikasi yang kedua, akumulasi capital yang bergantung pada modal dari pemerintah atau dari luar, dalam jangka panjang dapat dilakukan oleh rakyat sendiri, sehingga keberlanjutan pertumbuhan sektor pertanian dapat dipelihara. Sudah barang tentu perubahan struktural yang akan dicapai dengan konsepsi ekonomi gotong royong memerlukan prasyarat-prasyarat perubahan secara struktural pula di lapangan lain, seperti : pelaksanaan program reforma agraria, yaitu penataan tata kuasa, tata kelola dan tata guna lahan, yang harus dilakukan dengan serius dan terencana. Penataan kelembagaan di tingkat rakyat, yang difasilitasi penuh negara, seperti pelembagaan tata kelola produksi, pelembagaan tata niga di tingkat rakyat. Perubahan struktural ini tidak perlu mencabut dan menghancurkan lembaga-lembaga tradisional, sebagai kearifan lokal yang sudah ada , mengingat gotong royong sebagai  kegiatan juga memiliki akar budaya dan jiwa bangsa(volkgeist) yang tertanam kuat di Indonesia, bersama-sama dengan sikap rukun menjadi etika yang berkembang dikalangan penduduk Jawa.(FMS). Denagn kegiatan ekonomi gotong royong,  demokrasi ekonomi dapat dijalankan dan secara bertahap perubahan secara struktural, termasuk struktur sosial yang menjamin kemakmuran dapat dicapai. Namun tetap perlu diperjuangkan untuk dapat mewujudkannya.

8.Demikianlah catatan dan pokok pikiran yang sangat awal untuk dapat didiskusikan. Mudah-mudahan dengan diilhami dan dimbimbing marhaenisme, dan dengan pengkajian yang serius dan berlanjut, didapatkan konsepsi yang lebih sempurna, sehingga kedaulatan ekonomi seperti yang dicita citakan dapat terwujud. Terima kasih

TEORI EKONOMI - MARHAENISME




Bung Karno

Bung Karno, tidak hanya seorang negarawan atau politikus kaliber dunia. Ia juga merupakan seorang pemikir yang brilian dan berbobot Setiap orang yang bicara soal Bung Karno, tidak jarang mengaitkannya dengan Marxisme. Bahkan Dr. Tjipto Mangunkusumo pernah menulis bahwa paham Marxisme adalah “membakar Sukarno punya jiwa”. Bahwa Sukarno seorang Marxis, tidak ada yang menyanggah. Marxisme pada zaman pergerakan nasional menjadi “pedoman” para pejuang kemerdekaan, seperti Hatta dan Syahrir. Masalahnya, seberapakah kadar Marxisme Sukarno? Masalah ini banyak menjadi kajian dari kalangan perguruan tinggi, bahkan terdapat puluhan skripsi mahasiswa yang membahas hal itu. Berikut ini sebuah abstraksi dari skripsi di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, dengan judul Analisa Filsafat Terhadap Marhaenisme. Berbeda dengan kajian selama ini, skripsi tersebut menyimpulkan bahwa kurang tepat bila Sukarno disebut seorang Marxis, karena banyaknya revisi Sukarno terhadap Marxisme. Karena itu dapat disimpulkan bahwa Bung Karno lebih tepat digolongkan sebagai penganut tradisi pemikiran Marxis. Sebab cara berpikir Sukarno menunjukkan ciri-ciri tradisi pemikiran Marxis, yaitu dengan melihat sesuatu melalui titik pandang cara produksi (mode of production). Yang jauh lebih penting, melalui Marhaenisme Sukarno juga menunjukkan dirinya memiliki pandangan jauh ke depan. Marhaenisme yang merupakan antitesa dari praktek-praktek imperialisme yang dengan serakah menguras kekayaan dari Indonesia, dapat dianggap sebagai perintis dari teori Dependensia (ketergantungan) yang muncul di tahun 1960-an.

Konsep-konsep dan strategi yang dihasilkan oleh teori Dependensia (misalnya kemandirian dan pribumisasi Marxisme) ternyata telah dijalankan oleh Sukarno pada tahun 1930-an. Selain itu dialog-dialog emansipatoris yang dilakukan Sukarno untuk melaksanakan Marhaenisme, kemudian juga menjadi inti dari Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt yang muncul pada tahun 1970-an.

Terkait dengan kesimpulan ini adalah hasil pemikiran Bung Karno yang orisinal, yaitu Marhaenisme. Menurut kajian ini, Marhaenisme adalah suatu antitesa terhadap imperialisme. Sukarno menyusun Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia, yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.

Dari analisa filsafat terhadap Marhaenisme yang menjadi fokus skripsi ini terbukti bahwa Sukarno hanya mengambil elemen penting Marxisme, yaitu metode berpikirnya yang disebut historis materialisme, untuk diramu dengan dua elemen yang mengandung aspek modernitas yang diperlukan bangsa Indonesia: nasionalisme dan demokrasi. Itulah latar belakang ucapan Sukarno, “Marhaenisme merupakan Marxisme yang ditrapkan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia”.


TRADISI MARXIS DALAM PEMIKIRAN BUNG KARNO

Tetapi Sukarno tidak hanya mengetrapkan Marxisme. Ia juga secara berani dan kreatif merevisi Marxisme. Di antaranya dengan menyingkirkan peran dominan proletar untuk diganti oleh Marhaen. Marhaen adalah kaum melarat di Indonesia, yang berbeda dengan proletar, masih memiliki alat-alat produksi, walau dalam skala kecil. Teori Marxis lain yang tidak dipakai Sukarno adalah perjuangan kelas, karena ia melihat di Indonesia justru diperlukan persatuan dari berbagai golongan agar bisa mengusir kolonialisme yang telah berkolaborasi dengan kapitalisme dan imperialisme itu. Dan berbeda dengan Marx yang tidak menyukai nasionalisme, justru Sukarno menganggap peran penting nasionalisme untuk melawan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia. Dari banyaknya revisi Sukarno terhadap Marxisme, dapat disimpulkan bahwa kurang tepat bila Sukarno disebut seorang Marxis. Ia lebih tepat digolongkan sebagai penganut tradisi pemikiran Marxis. Sebab cara berpikir Sukarno menunjukkan ciri-ciri tradisi pemikiran Marxis, yaitu dengan melihat sesuatu melalui titik pandang cara produksi (mode of production). Yang jauh lebih penting, melalui Marhaenisme Sukarno juga menunjukkan dirinya memiliki pandangan jauh ke depan. Marhaenisme yang merupakan antitesa dari praktek-praktek imperialisme yang dengan serakah menguras kekayaan dari Indonesia, dapat dianggap sebagai perintis dari teori Dependensia (ketergantungan) yang muncul di tahun 1960-an. Konsep-konsep dan strategi yang dihasilkan oleh teori Dependensia (misalnya kemandirian dan pribumisasi Marxisme) ternyata telah dijalankan oleh Sukarno pada tahun 1930-an. Selain itu dialog-dialog emansipatoris yang dilakukan Sukarno untuk melaksanakan Marhaenisme, kemudian juga menjadi inti dari Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt yang muncul pada tahun 1970-an.

Sejarah Marhaenisme Bung Karno

Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.

Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.

Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.

Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.

Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.

Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.

Apakah Marhaenisme itu?
Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen. Seorang letterzetter adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya. Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya disebutkan “proletar intelektual”.
Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.
Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.
Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.
Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti: faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed), adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum Marhaenis.
Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.
Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!


UBK 2001-2003





TEORI EKONOMI - ANALISIS PEMIKIRAN PARA KAUM PHYSIOKRAT


Analisis Pemikiran Para Kaum Physiokrat

Tokoh-tokoh kaum physiokrat adalah François Quesnay (1694-1774), Pierre Samuel du Pont de Nemours (1739-1817) dan Charles Gide, di mana paham dari aliran ini yang terpenting bagaimana penguasaan alam. Jikalau kaum merkantilis adalah sebagai perintis ilmu ekonomi, maka kaum physiokrat disebut sebagai pendasar ilmu ekonomi.

Kaum physiokrat sebagai yang pertama memandang kehidupan perekonomian sebagai suatu sistem yang sudah ditentukan dan sebagai suatu sistem yang diatur oleh hukum-hukum tersendiri, dan atas dasar itu dapat dibuat perhitungan dan ramalan-ramalan serta mereka mencoba merumuskan hukum-hukum ini. Para pengikut mazhab physiokrat adalah Mercier De la Rivière (1720-1794), Boudeau, Robert Jacques Turgot (1727-1781), le Trosne, serta Karl Friedrich von Baden-Durlach.

Menurut François Quesnay (1694-1774), seorang doketer, melihat peredaran ekonomi (aliran barang-barang di masyarakat) seperti aliran darah di dalam tubuh manusia. Prinsip dasar pandangan kaum physiokrat adalah di dalam kehidupan harus mendasarkan kepada natural order. Organisasi yang asasi bahwa setiap individu mengetahui kepentingan sendiri, dan selanjutnya yang terbaik mengurus kepentingan sendiri itu adalah setiap orang itu sendiri. Akhirnya kepentingannya sendiri dan kepentingan umum jatuh bersamaan, sehingga bilamana setiap individu dibebaskan untuk membela kepentingannya sendiri, maka juga kepentingan umum akan teriris dengan baik sekali. (leisser faire, leisser passer, le monde va alors de luis meme).

Kaum physiokrat mengembangkan teori harmoni, yakni keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan umum (masyarakat). Selanjutnya diketengahkan prinsip ekonomi yang dijadikan dasar umum teori ekonomi kaum physiokrat di mana setiap individu berusaha memperoleh suatu hasil tertentu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Teori harmoni ini kemudian dilanjutkan kaum klasik yang berbunyi: setiap individu berusaha memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya, dan pendapatan hanya dapat bertambah bilamana subyek ekonomi menawarkan kepada sesamanya barang yang lebih baik dan atau lebih murah, serta pemerintah tidak perlu campur tangan. Pemerintah hanya bertugas di dalam bidang justisi, milisi, pengajaran dan pekerjaan umum. Hal ini merupakan reaksi atas campur tangan pemerintah yang begitu jauh yang diajarkan oleh kaum merkantilis.

Jikalau kaum merkantilis menempatkan perdagangan luar negeri dalam pusat pandangan ekonominya, maka kaum physiokrat menempatkan pertanian dalam pandangan ekonominya. Hanya pertanianlah yang dapat memberikan hasil yang produktif.

Sir William Petty (1623-1687) menyatakan bahwa “labour is the father and active principle of wealth, as lands are the mother“. Petani menuai lebih banyak daripada yang ditaburkannya dan kelebihan ini (atau disebut “produit net“) ditambahkannya sebagai barang (product) baru kepada peredaran perekonomian masyarakat.

Kehidupan perekonomian secara keseluruhan sebagai suatu sistem, François Quesnay (1694-1774) menggambarkan hubungan di antara tiga golongan masyarakat.

Classe productive; yakni para petani.
Classe prosprietaires; yakni para pemilik tanah.
Classe sterile; yakni para pedagang dan industriawan.

Ketiga golongan masyarakat inilah yang dianggap berperanan dalam pembagian pendapatan masyarakat (nasional) yang digambarakan dalam “Tableau Economique“. Selanjutnya ditambahkan golongan pekerja yang disebut classe passive sebagai golongan keempat yang mempunyai arti dalam hubungan konsumsi bukan untuk produksi.

Dalam teori pembagian pendapatan masyarakat (nasional) ini François Quesnay (1694-1774) menyatakan bahwa golongan petani (classe productive) menghasilkan F 5 milyar. Diantaranya F 2 milyar mengalir ke classe prosprietaires dan F 1 milyar mengalir ke classe sterile dan tersisihkan bagi keperluan classe productive sebesar F 2 milyar untuk keperluan sendiri, ternaknya dan bibit.
Selanjutnya dari classe

prosprietaires F 1 milyar digunakan untuk pembelian bahan makanan, yang berarti mengalir kembali kepada kaum petani. Sedangkan F 1 milyar lagi dipergunakan untuk memperoleh barang-barang industri, yang berarti mengalir kepada classe sterile. Penerimaan F 2 milyarclasse sterile dipergunakan untuk membeli bahan makanan. Dengan demikian pada akhir proses pembagian pendapatan nasional classe productive menerima kembali F 3 milyar di mana F 1 milyar berasal dari classe des prosprietaires dan F 2 milyar berasal dari classe sterile. Berdasarkan “Tableau Economique” yang disusun Quesnay maka dapat memberikan wawasan kepada suatu pembukuan nasional atau suatu input-output analysis.
Tabel Ekonomi - Francois Quesnay


“Tableau Economique” oleh François Quesnay (1694-1774)

François Quesnay (1694-1774) selanjutnya membedakan konsep nilai dan harga yang cocok digunakan dalam sistem yang dipakainya. Sedangkan tentang harga dibedakan antara harga pokok barang dan harga yang harus dibayar konsumen. Harga pokok menurut François Quesnay (1694-1774) tergantung dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan barang itu untuk pasar. Sedangkan harga penjualan kepada konsumen, biasanya para pedagang berusaha memperoleh marjin uang sebesar-besarnya.

Harga jual hasil- hasil industri sama dengan harga pokoknya, di mana dalam hal ini pedagang hanya dapat memperoleh laba dengan merugikan konsumen. Sebaliknya untuk produk-produk hasil pertanian agar dengan harga jualnya dapat diperoleh laba yang besar guna dilakukan untuk investasi yang mendatangkan tambahan “produit net“.

Perhitungan kaum physiokrat untuk menyerahkan 2/5 dari pendapatan nasional kepada pemilik tanah karena dianggapnya mereka itu sebagai tulang punggung negara. Dari sewa tanah yang diterimanya, harus membayar pajak dan kewajiban sosial lainnya (termasuk pemesanan pembelian barang-barang mewah yang mendorong kemajuan para pengrajin). Dengan demikian maka para pemilik tanah (classe des proprietaires) adalah sebagai penggerak peredaran perekonomian. Selanjutnya sampailah pada suatu slogan “bilamana petani miskin, maka miskinlah negara (kerajaan) dan miskin pulalah rajanya (kepala negara) “pauvre paysans, pauvre royaume, pauvre roi“.

Tapi upah menurut kaum physiokrat dinyatakan bahwa besarnya upah sama dengan ongkos-ongkos hidup. Maka upah akan naik bilamana harga gandum naik. Jadi menurut mereka, untuk kesejahteraan kaum buruh tidak ada artinya tingginya tingkat harga.

Apabila kaum merkantilis dalam menganalisa soal-soal ekonomi banyak mencurahkan perhatian pada soal-soal moneter, maka kaum physiokrat menunjukkan bahwa “tabir uang” membuat samar-samar gejala-gejala ekonomi. Oleh karenanya soal-soal ekonomi yang sebenarnya harus dicari dibelakang tabir uang ini; hal mana diikuti pendapat serupa oleh kaum klasik sampai dengan terbitnya buku General Theory of Employment, Interest and Money yang ditulis oleh John Maynard Keynes (1883-1946).

Teori uang menurut seorang physiokrat bernama Robert Jacques Turgot (1727-1781) mengemukakan bahwa dalam sistem penukaran barang digunakan alat penukar yang lazim dan dikehendaki oleh orang pada umumnya yakni dengan hitungan domba. Lambat laun orang membuat daftar harga-harga itu dalam domba abstrak (dalam angan-angan saja). “Domba abstrak” ini kemudian merupakan satuan perhitungan. Pemikian ini kelak akan menginspirasi akan standar logam mulia (emas) yang didukung oleh Adam Smith (1723-1790), sebagai patokan uang dianggap lebih stabil.

Teori bunga menurut kaum physiokat diketengahkan oleh Robert Jacques Turgot (1727-1781) di mana bahwa uang tidak dapat beranak, tetapi menggunakan teori fruitifikasi (berbuah), jadi dapat berbuah.
Dalam hal pajak, mengingat pemerintah harus bertanggung jawab dalam pendidikan yang memerlukan biaya besar, maka memerlukan sumber pendanaan yang berasal dari pajak. Tetapi berbagai macam jenis pajak disederhanakan dalam “impot direct et unique” (pajak langsung dan tunggal) yang dikenakan terhadap “produit net” sebesar 3/10. Pendapat tentang pajak kaum physiokrat sampai dengan sekarang masih banyak pengikutnya meskipun dengan alasan-alasan yang berbeda, tentang pajak langsung dan tunggal, seperti di Amerika Serikat, Austria dan Jerman. Pemikiran ini mensinyalkan akan debirokratisasi atas pajak serta melandasi pemikiran keadilan pajak yang sampai saat ini masih terus berkembang. Di kemudian hari terbukti bahwa jenis pajak yang bermacam-macam dapat membuka peluang pungutan liar. Pemikiran mengenai pajak nantinya terus disempurnakan.

TEORI EKONOMI - David Hume,Sir W Petty,Gregory King


David Hume (1711-1776)

Dengan adanya kritik David Hume (1711-1776) maka teori pra-klasik atau merkantilisme dianggap tidak relevan. Selanjutnya Adam Smith (1723-1790) menyumbangkan pemikirannya dalam buku yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” pada tahun 1776. Sehingga muncul teori klasik atau absolute advantagedari Adam Smith (1723-1790). Pendapat Adam Smith (1723-1790) adalah sebagai berikut:

Ukuran kemakmuran suatu negara bukan ditentukan banyaknya LM yang dimilikinya.

Kemakmuran suatu negara ditentukan oleh besarnya GDP dan sumbangan perdagangan luar negeri terhadap pembentukan GDP negara tersebut.

Untuk meningkatkan GDP dan perdagangan luar negeri, maka pemerintah harus mengurangi campur tangannya sehingga tercipta perdagangan bebas atau free trade

Dengan adanya free trade maka akan menimbulkan persaingan ataucompetition yang semakin ketat. Hal ini akan mendorong masing-masing negara untuk melakukan spesialisasi dan pembagian kerja internasional dengan berdasarkan kepada keunggulan absolut atau absolute advantageyang dimiliki negara masing-masing.

Spesialisasi dan pembagian kerja internasional yang didasarkan kepadaabsolute advantage, akan memacu peningkatan produktivitas dan efisiensi sehingga terjadi peningkatan GDP dan perdagangan luar negeri atau internasional.

Peningkatan GDP dan perdagangan internasional ini identik dengan peningkatan kemakmuran suatu negara.

Sir William Petty (1623-1687) pada tahun 1679 telah menghitung pendapatan nasional Inggris yang selanjutnya melahirkan ilmu pengetahuan “Political Aritmathic”. Perhitungan pendapatan nasional terus berkembang dan menjadi isu penting di dalam ekonomi sampai dengan dewasa ini. Pendapatan nasional telah dijadikan tolok ukur atas keberhasilan suatu pemerintahan dalam mengatur ekonominya.

Gregory King (1648-1712) dalam tahun yang hampir bersamaan mengumpulkan bahan-bahan yang sama untuk membuat gambar kurva permintaan terhadap gandum dalam suatu kejadian konkrit. Menurut hukum King perubahan dalam penawaran gandum berturut-turut dengan 1/10, 2/10, 3/10, 4/10, dan 5/10, membuat harga berubah dalam arah yang sebaliknya dengan 3/10, 8/10, 16/10, 28/10, dan 45/10. Pemikiran ini semakin dikembangkan dalam teori permintaan dan penawaran oleh ekonom selanjutnya.

Gregory King’s Law, or the “King-Davenant law,” is an estimate of by how much a deficiency in the supply of corn will raise the price of corn. It appears in Davenant’s Essay upon the Probable Methods of making a People Gainers in the Balance of Trade. Since the early 19th century it has usually been attributed to King.

It is observed that but one-tenth the defect in the harvest may raise the price three-tenths, and when we have but half our crop of wheat, which now and then happens, the remainder is spun out by thrift and good management, and eked out by the use of other grain; but this will not do for above one year, and would be a small help in the succession of two or three unseasonable very destructive, in which many of the poorest sort perish, either for want of sufficient food or by unwholesome diet.
“We take it that a defect in the harvest may raise the price of corn in the following proportions:
Defect raises the price above the common rate

1 tenth …………… 3 tenths
2 tenths …………… 8 tenths
3 tenths …………… 16 tenths
4 tenths …………… 28 tenths
5 tenths …………… 45 tenths

So that when corn rises to treble the common rate, it may be presumed that we want above one-third of the common produce; and if we should want five-tenths or half the common produce, the price would rise to near five times the common rate.” (The Works of Sr William D’Avenant Kt, vol. ii, pp. 224, 225, edited by Sir C. Whitworth, London (1771)).

TEORI EKONOMI - Pieter de La Court, David Hume.


Pieter De La Court (1618-1685)


Kaum Bullion berpendapat bahwa ekspor logam mulia murni harus dilarang sama sekali tidak dijumpai, tetapi yang penting bagaimana nilai ekspor harus lebih besar daripada impor. Pieter De La Court (1618-1685) dari Belanda membuat usulan kepada pemerintahannya:

Untuk memajukan perkapalan dengan perpajakan yang ringan untuk mengangkut barang-barang dari luar negeri.

Mempajaki kapal-kapal luar negeri yang masuk.

Semua barang-barang yang dapat dibuat di negeri sendiri jangan dibebani pajak terlalu banyak.
Semua bahan mentah sama sekali tidak boleh dibebani pajak.

Semua barang-barang luar negeri harus dibebani bea masuk.

David Hume (1711-1776), seorang tokoh ekonomi klasik, mengkritik pemikiran kaum merkantilisme dengan menjelaskan mengenai mekanisme otomatis dari Price-Spice Flow Mechanism atau PSFM. Ide pokok pikiran dari merkantilisme mengatakan bahwa negara/raja akan kaya/makmur bila X>M sehingga LM yang dimiliki akan semakin banyak. Ini berartiMoney supply (Ms) atau jumlah uang beredar banyak. Bila Money supply atau jumlah uang beredar naik, sedangkan produksi tetap/tidak berubah, tentu akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Kenaikan harga di dalam negeri tentu akan menaikkan harga barang-barang ekspor (Px), sehingga kuantitas ekspor (Qx) akan menurun

TEORI EKONOMI - Analisis Pemikiran Para Kaum Merkantilis


Analisis Pemikiran Para Kaum Merkantilis

Sebelum abad ke-16 dan ke-17 perdagangan dinilai sebagai derajat yang rendah, kaum merkantilis telah mulai memusatkan perhatiannya kegiatan ekonominya di dalam perdagangan terutama perdagangan luar negeri. Pemikiran kaum merkantilis telah mengangkat pandangan masyarakat dan negara mengenai perdagangan. Emas yang mengalir dari luar ke dalam negeri sebagai akibat perdagangan telah memperkuat negara. Kaum merkantilis sering disebut juga tukang batunya ilmu ekonomi pada abad ke-16 dan ke-17.

Kaum merkantilis tua yang juga disebut sebagai kaum Bullion seperti Hales, Miles, Gerald de Malynes (1586-1641) dan Edward Misselden (1608-1654) menyatakan agar negara memasukkan sebanyak-banyaknya logam mulia murni ke dalam negeri dan menahannya jangan sampai keluar, dalam hal ini uang disamakan dengan kemakmuran.

Gerald de Malynes (1586-1641) dan Sir William Petty (1623-1687) berpendapat bahwa turunnya bunga dan meningkatnya perdagangan, sebagai akibat penting dari bertambahnya uang yang beredar. Pendapat bahwa bunga adalah harga untuk uang ditolak oleh kaum klasik dan para ahli ekonomi sesudahnya sampai dengan John Maynard Keynes (1883-1946) menulis bukunya yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money yang meminta perhatian bagi kebenaran pendapat kaum Merkantilis. Dalam hal ini pendapat Keynes yang membela pendapat kaum Merkantilis dengan teori yang dikenal dengan motivasi “liquidity preferences“.

Charles d’Avenant (1656-1714) menyatakan bahwa kekayaan dalam bentuk uang hanyalah kekayaan mati. Oleh karena itu harus diperbesar tingkat konsumsi masyarakat terutama untuk barang mewah yang diproduksi di dalam negeri. Selanjutnya diakui oleh kaum merkantilis akan aliran logam mulia ke Eropa Barat dalam abad ke-16 dan sesudahnya berakibat meningkatkan tingkat harga umum di negara tersebut. Dengan demikian maka muncullah teori kuantitas uang. Di dalam teori tersebut masih sederhana dinyatakan bahwa keseimbangan antara tingkat harga dengan jumlah uang beredar. Dikemukakan lebih lanjut bahwa penambahan uang beredar dengan satu persen akan berarti naiknya harga dengan satu persen. Hal demikian berarti bahwa koefisien elastisitas tingkat harga terhadap jumlah uang beredar sama dengan satu.

John Locke (1632-1704) mengemukakan bahwa dalam hal ini yang harus diperhatikan bukan hanya jumlah uang yang beredar, tetapi juga cepatnya uang beredar. Dalam hal ini kecepatan berputar daripada uang tidaklah sama untuk semua subyek ekonomi. Menurut taksirannya volume uang yang diperlukan untuk suatu negeri sama dengan 1/15 daripada upah tahunan ditambah ¼ pendapatan para pemilik tanah besar setiap tahun ditambah 1/20 pendapatan para pedagang setiap tahun. 

Richard Cantillon (1680-1734), seorang bankir Irlandia dan petualang yang beremigrasi ke Paris, menyatakan jumlah uang yang diperlukan sama dengan 1/9 hasil nasional bersih.

Teori kuantitas uang sederhana tersebut kemudian dibelakang hari disempurnakan oleh Irving Fisher (1867-1947), profesor ekonomi dari Yale dan pendiri aliran monetaris, dengan rumus M x V = P x T (M adalah Money yaitu kuantitas uang yang beredar, V adalah Velocity yaitu kecepatan uang atau perputaran uang tahunan, P adalah Price yaitu tingkat harga umum, T adalah Trade yaitu kuantitas barang yang dihasilkan/diperdagangkan selama setahun). Ini berarti bahwa dalam hal kecepatan peredaran uang yang tetap (konstan) dan jumlah barang yang sama yang diperdagankan, maka tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang.

 Irving Fisher (1867-1947) dalam hal ini telah membedakan antara uang kartal yaitu seperti uang logam, uang kertas dan lain-lain serta uang giral yaitu uang dalam bentuk giro, deposito, dan sebagainya yang ada di dalam bank.

TEORI EKONOMI - Martin Luther ,Werner Sombart,Oresme,Machiavelli


Martin Luther (1483-1546) juga mengemukakan keuntungan pedagang seharusnya merupakan penggantian tenaga dan risikonya bukan karena keuntungan dari suatu keadaan barang kurang. Johannes Calvijn (1509-1564) membela pendirian bahwa keuntungan pedagang timbul dari kerajinan dan kegiatannya, Johannes Calvijn (1509-1564) jugalah yang membela pemungutan bunga uang.

Werner Sombart (1863-1941) menjelaskan bahwa unsur etik di dalam pembentukan harga semakin terdesak ke samping bilamana keadaan pasar semakin berkembang. Pada abad ke-17 Jacques dan Louis Savary mengemukakan bahwa harga-harga sebenarnya atau harga intrinsik daripada barang diukur dengan ongkos-ongkos yang dibebankan pedagang untuk itu, ditambah dengan apa yang pantas untuk upahnya. Nicholas Oresme (1320-1382) dan Niccolo Machiavelli (1469-1527) melepaskan pandangan teori ekonomi dari ajaran agama dan demikian pula ilmu politik terlepas dari etik.

Pandangan dari para ahli filsafat memperkaya pandangan dari ekonom dan memberikan dasar pemikiran selanjutnya di dalam ekonomi. Pemikiran mereka telah merintis bagi jalan berkembangnya ilmu ekonomi. Dengan mempelajari pandangan dari para ahli filsafat dapat memberikan gambaran mengenai dinamika perkembangan teori ekonomi dari waktu ke waktu.