Oleh : Soeseno , Universitas
Jember
1. Menjelang umur republik
yang ke 69 tahun ini masih terdengar cukup keras gugatan terhadap kemandirian
negara dalam mengelola perekonomian, terutama kekayaan negara berupa sumberdaya
alam yang melimpah. Gugatan itu didasarkan pada kenyataan bahwa paska reformasi
tidak terjadi perubahan yang nyata terhadap kondisi perekonomian nasional,
bahkan cengkraman koorporasi internasional semakin dalam pada perekonomian
nasional. Tuduhan bahwa perekonomian digerakan oleh rezim “ neolib” mewarnai
wacana perbincangan mulai dari pakar sampai sikap para pengunjuk rasa
dijalan. Harapan – harapan yang ditumpukan pada reformasi tidak menjadi
kenyataan, bahkan sampai saat ini , setelah reformasi berjalan 13 tahun,
penguasaan asing dalam pengelolaan kekayaan negara masih cukup besar
(60%) disemua sektor (Kompas,23 Mei). Saya tidak akan menambah daftar panjang,
bukti-bukti bahwa kita gagal merebut kedaulatan dibidang ekonomi lebih-lebih paska
reformasi, karena saya termasuk sebagian kecil rakyat yang tidak percaya bahwa
reformasi memang akan membawa perbaikan atau memperkuat kedaulatan ekonomi itu.
Reformasi yang lebih kuat digerakan oleh kepentingan global memang tidak
dimaksudkan untuk itu. Tetapi lebih untuk memperkuat masuknya modal luar pada
penguasaan ase-aset domestik.
2.Diantara para penggugat dan
pengritik gagalnya negara mengembalikan kedaulatan di bidang ekonomi, terdapat
para pakar yang juga memberikan solusi, mulai dari yang lunak seperti
perbaikan-perbaikan pelaksanaan di tingkat sektoral dan koordinasi antar sektor
dengan sasaran memperkuat integrasi pasar ( Faisal Basri) sampai pada solusi
yang cukup mendasar yaitu memberikan haluan baru kebangkitan ekonomi ( Ekonomi
konstitusi ). Namun demikian semua kerangka berpikir dibalik pertimbangan
memberikan solusi tersebut masih dalam bingkai (frame) kesadaran berpikir
paradigma ekonomi liberal yang dikritiknya. Seperti misalnya, saran agar
pemerintah membangun/memperbaiki infrastrukur untuk menjamin pasar domestik
yang terintegrasi, sehingga biaya transaksi menjadi murah dan pasar menjadi
efisien. Dengan pasar yang efisien menjamin pengolahan bahan baku
berbagai penjuru tanah air dapat dilakukan di dalam negeri, sehingga nilai
tambah dari bahan baku yang selama ini dinikmati luar negeri, dapat dinikmati
masyarakat domestik. Hal ini tampaknya rasionil. Anggapan dasar dari saran ini
tetap, bahwa pelaku pasar adalah individu-individu yang rasionil, yang akan
menjamin terjadinya keseimbangan diantara mereka, dengan tidak memperhitungkan
pengaruh modal sebagai instrument persaingan utama dalam pasar. Selama
penguasan modal (alat-alat produksi) tidak ditangan masyarakat luas, pasar yang
efisien juga tidak akan berfungsi untuk mensejahterakan masyarakat. Gagasan
yang lain seperti dapat dibaca pada buku Ekonomi Konstitusi, haluan baru
kebangkitan ekonomi Indonesia, sudah memberikan tekanan bahwa perekonomian
harus dikelola berdasar amanat konstitusi. Hal ini memberi pemahaman bahwa
pengelolaan perekonomian selama ini sudah keluar melenceng dari amanat
konstitusi kita. Disamping bersifat normative, bagaimana menjabarkan dalam
praktek amanat konstitusi tersebut, tetap menggunakan pendekatan sektoral
dan partikularis ( terpisah-pisah). Paradigma “moda produksi kolonial” masih
menjadi dasar dalam penjabarannya sehingga belum menjawab persoalan dasar
bangsa secara lebih struktural. Mengingat persoalan kedaulatan ekonomi adalah
memerlukan penyelesaian secara struktural, maka saran yang disampaikan belum
menjawab akar sebenarnya permasalahan kedaulatan ekonomi.
3.Lalu bagaimana menjawab
persoalan kedaulatan ekonomi yang semakin jauh ditangan bangsa ini? Dan
selanjutnya jika secara konsepsional jawaban itu ditemukan, apakah mungkin
dapat dilaksanakan dalam suasana sistim ekonomi yang semakin terbuka,
terintegrasi secara global dengan berbagai kepentingan yang saling jalin
menjalin? Untuk menjawab persoalan tersebut, baiklah kita menengok
kembali apa sebenarnya yang dipikirkan para bapak pendiri bangsa saat mereka
bersepakat mendirikan Negara Indonesia yang merdeka. Salah satu pemikiran yang
menonjol dan jauh disampaikan sebelum Indonesia merdeka adalah “marhaenisme”
oleh Soekarno. Pertanyaannya, apakah masih relevan saat ini membicarakan sebuah
cita-cita sebuah ideologi yang para penganutnya atau bahkan para penuturnya
sudah semakin hilang? Marilah kita tengok, Negara yang mengalami kemajuan
sangat pesat dibidang ekonomi, sekedar untuk diperbandingkan, Cina. Dalam
tinjauan terhadap “Wawasan Ilmiah Cina dalam Pembangunan” ditemukan karakter
budaya yang sudah sangat lama ribuan tahun dan mendalam dipahami oleh bangsa
Cina yaitu, daoisme, konfusianisme dan budhisme seebagai dasar dan
pedoman arah bagaimana membangun Cina yang modern. Semasa “ Revolusi
Kebudayaan” ketiga pandangan kebijaksanaan tersebut ditenggelamkan dan
diharamkan, tetapi dalam membangun Cina paska Revolusi Kebudayaan dipelajari
kembali dan dijadikan sebagai pedoman bagaimana , teori dan konsepsi pembangunan
harus diarahkan (Galtung, Juli 2008), sehingga bangsa Cina mengalami kemajuan
pesat saat ini, karena ketiga pandangan filsafat itu bukan saja tidak
bertentangan dengan ideologi partai yang berkuasa bahkan menjadi pedoman dalam
setiap langkah progresif kearah kemajuan. Analogi dari pandangan ini bukan
tidak mungkin pemikiran marhaenisme jika dipahami secara serius dan
mendalam menjadi pedoman pembentukan teori dan konsepsi untuk diwujudkan
dalam perspektif pembangunan ekonomi Indonesia dimasa yang akan datang, dan
dapat menjawab persoalan struktural yang dihadapi bangsa, sehingga mencapai
kedaulatan ekonomi.
4.Marhaenisme diperkenalkan
semasa Indonesia belum lahir dan dalam suasana peri kehidupan ekonomi rakyat
dikuasai oleh moda produksi kolonial, dimana rakyat hanya diperlakukan sebagai
pekerja upahan. Soekarno melihat ada petani kecil yang tetap menguasai
alat-alat produksi pertaniannya yang mampu bertahan dalam keterbatasannya
,sehingga dapat di idealkan menjadi kondisi rakyat Indonesia yang dapat
digerakan kearah kemajuan. Sebagai sebuah ideologi, marhaenisme menjadi
ideologi penantang dari rezim penjajah yang berkuasa yang bertumpu pada
ideologi kapitalisme, dimana sebagian besar alat-alat produksi ( sumber
daya alam dan modal ) dikuasai oleh penguasa. Sosio Demokrasi yang merupakan
asas bagaimana kelak susunan peri kehidupan kebangsaan di alam kemerdekaan
dijalankan, dan dalam bidang ekonomi bagaimana susunan perekonomian harus
dibangun agar dapat mengangkat martabat kaum marhaen menuju kemakmuran,
memerlukan cara-cara perjuangan. Cara perjuangan itu, tetap bertumpu bagaimana
penguasaan alat-alat produksi dapat dilakukan untuk kemakmuran rakyat.
Salah satu upaya setelah kemerdekaan adalah melakukan “nasionalisasi” perusahaan-perusahaan
Belanda/Asing yang masih beroperasi di Indonesia. Upaya ini dapat dipandang
dalam rangka merebut alat-alat produksi, walaupun dalam pelaksanaanya ternyata
alat-alat produksi itu tidak dikuasai oleh rakyat sebagaimana disyaratkan dalam
sosio demokrasi, tetapi dikuasai oleh aparat negara yang baru terbentuk, dengan
mengatas namakan negara, untuk memperkaya diri. Kondisi kaum marhaen dengan
alat produksi yang dikuasai oleh asing maupun oleh bangsa sendiri tidak jauh
berbeda. Kaum marhaen tetap dijauhkan dari penguasaan alat-alat produksi di
alam kemerdekaan, dan mereka tatap kaum kecil miskin dan melarat secara
ekonomi, sehingga marhaenisme tetap perlu diperjuangakan.
5.Fakta-fakta bahwa penguasaan
alat-alat produksi nasional sampai saat ini belum sepenuhnya ditangan rakyat
dan kesadaran rakyat justru didorong kearah konsumen barang-barang yang bahan
bakunya dihasilkan dinegeri sendiri, maka kedaulatan ekonomi semakin jauh dari
harapan, lebih-lebih kemakmuran kaum marhaen. Untuk itu diperlukan teori dan
konsepsi yang dibimbing marhaenisme, dalam menjawab permasalahan bangsa.
Teori dan konsepsi yang menjadi dasar konstruksi dari sitim ekonomi kemarhaenan
, sebagaimana setiap sistim ekonomi, harus mampu menjawab ketersediaan secara
berkelanjutan pangan, sandang, papan dan kesejahteraan rakyat berupa pendidikan
dan kesehatan. Hal ini memerlukan perluasan kegiatan ekonomi pada rakyat
sekaligus penguasaan alat-alat produksi oleh rakyat. Negara berperan sentral
dalam menjamin seluruh kegiatan perekonomian untuk tetap pada sasaran
kemakmuran rakyat dan menjaga stabilitas perekonomian secara nasional. Sistim
yang menjamin dan dapat dioperasionalkan secara praktek ,menurut saya ,jika
semua kegiatan perekonomian terutama disektor produksi, distribusi bahan-bahan
primer secara bertahap dilaksanakan secara gotong royong. Dengan gotong royong
dimaksudkan penguasaan alat-alat produksi dimiliki bersama oleh rakyat, sistim
distribusi juga menjamin penguasaan oleh rakyat, Negara menjamin terlaksananya
sistim gotong royong ini berjalan dengan lancar, untuk itu semua infrastruktur
yang diperlukan menjaga kelancaran sistim perekonomian disediakan dan diawasi
oleh Negara. Dengan demikian, setidaknya disektor primer penghasil bahan baku,
semua nilai tambah produksi nasional akan dinikmati oleh rakyat. Lebih lanjut
diharapkan kedaulatan ekonomi dengan bimbingan marhaenisme terwujud. Sudah
barang tentu, konsepsi ini memerlukan perjuangan disemua lapangan , terutama
lapangan politik.
6.Sebagai ilustrasi dan pernah
menjadi konsep yang diteliti oleh IPB, adalah bagaimana jika dalam tata kelola
industri gula nasional, sebagian alat produksi gula (pabrik gula)
kepemilikannya diserahkan kepada rakyat, mengingat rakyat sudah memiliki sebagian
alat produksi berupa tanah. Konsep ini dierkenalkan sebagai spin off pabrik
gula. Latar belakang pemikiran ini berdasar pada kenyataan bahwa, harga maupun
ketersediaan gula sangat fluktuatif. Pada saat harga gula mahal, petani tebu
tidak menikmati nilai tambah dari harga gula, sebaliknya pada saat harga gula
murah, petani merugi yang selanjutnya beralih pada tanaman lain yang lebih
menguntungkan. Situasi yang demikianlah yang menjadikan persoalan gula, sebagai
barang primer, tidak pernah terpecahkan selama bertahun-tahun. Konsep ini
pernah dijalankan , justru di negara yang disebut kapitalis Amerika (
A.Pakpahan). Dengan kepemilikan oleh rakyat, mulai dari sejak awal proses tebu
ditanam sampai pada distribusi gula, rakyat sebagai pemilik memiliki hak
memutuskan, sehingga cukup efisien karena tidak diperlukan biaya-biaya yang
tidak terkait dengan produksi, seperti biaya manajemen yang sangat mahal. Rente
ekonomi yang menjadi kebiasaan dalam tata niaga komoditi pertanian dapat
dihilangkan dan nilai tambah jatuh kepada petani tebu. Peran negara adalah
disamping menjamin tersedianya modal saat proses awal dimulai, dan menjamin
dsitribusi oleh rakyat pemilik gula lancar, dengan membantu terbangunnya
kelembagaan tata niaga yang dapat diawasi oleh rakyat. Paling tidak jika
sistim ini dijalankan, akan lebih baik dari sistim yang lain dan menjamin
kedaulatan ekonomi khususnya kedaulatan pangan terjamin. Ilustrasi ini
setidaknya sebagai bahan pemikiran awal, lebih-lebih jika diterapakan pada
semua sektor penghasil bahan baku pertanian, maka diperlukan kajian yang lebih
mendalam.
7.Dengan ilustrasi diatas,
konsepsi ekonomi gotong royong memungkinkan terjadinya perubahan secara
struktural pada susunan perekonomian. Pertama struktur penguasaan
alat-alat produksi pokok yang sebelumnya dikuasai orang per orang atau Negara
beralih menjadi dikuasai oleh sebagian besar rakyat. Jika itu dilakukan
dibidang pertanian, setidaknya menjamin sekitar 70% rakyat menguasai aset. Kedua, berpindahnya
nilai tambah yang dihasilkan kepada sebagian besar rakyat. Hal ini merupakan
salah satu kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan struktural.
Ketiga, sebagai implikasi yang kedua, akumulasi capital yang
bergantung pada modal dari pemerintah atau dari luar, dalam jangka panjang
dapat dilakukan oleh rakyat sendiri, sehingga keberlanjutan pertumbuhan sektor
pertanian dapat dipelihara. Sudah barang tentu perubahan struktural yang akan
dicapai dengan konsepsi ekonomi gotong royong memerlukan prasyarat-prasyarat
perubahan secara struktural pula di lapangan lain, seperti : pelaksanaan
program reforma agraria, yaitu penataan tata kuasa, tata kelola dan tata guna
lahan, yang harus dilakukan dengan serius dan terencana. Penataan kelembagaan
di tingkat rakyat, yang difasilitasi penuh negara, seperti pelembagaan tata
kelola produksi, pelembagaan tata niga di tingkat rakyat. Perubahan struktural
ini tidak perlu mencabut dan menghancurkan lembaga-lembaga tradisional, sebagai
kearifan lokal yang sudah ada , mengingat gotong royong sebagai kegiatan
juga memiliki akar budaya dan jiwa bangsa(volkgeist) yang tertanam kuat di
Indonesia, bersama-sama dengan sikap rukun menjadi etika yang berkembang
dikalangan penduduk Jawa.(FMS). Denagn kegiatan ekonomi gotong royong,
demokrasi ekonomi dapat dijalankan dan secara bertahap perubahan secara
struktural, termasuk struktur sosial yang menjamin kemakmuran dapat dicapai.
Namun tetap perlu diperjuangkan untuk dapat mewujudkannya.
8.Demikianlah catatan dan pokok
pikiran yang sangat awal untuk dapat didiskusikan. Mudah-mudahan dengan
diilhami dan dimbimbing marhaenisme, dan dengan pengkajian yang serius dan
berlanjut, didapatkan konsepsi yang lebih sempurna, sehingga kedaulatan ekonomi
seperti yang dicita citakan dapat terwujud. Terima kasih