Rabu, 28 Desember 2011

TEORI EKONOMI - MARHAENISME




Bung Karno

Bung Karno, tidak hanya seorang negarawan atau politikus kaliber dunia. Ia juga merupakan seorang pemikir yang brilian dan berbobot Setiap orang yang bicara soal Bung Karno, tidak jarang mengaitkannya dengan Marxisme. Bahkan Dr. Tjipto Mangunkusumo pernah menulis bahwa paham Marxisme adalah “membakar Sukarno punya jiwa”. Bahwa Sukarno seorang Marxis, tidak ada yang menyanggah. Marxisme pada zaman pergerakan nasional menjadi “pedoman” para pejuang kemerdekaan, seperti Hatta dan Syahrir. Masalahnya, seberapakah kadar Marxisme Sukarno? Masalah ini banyak menjadi kajian dari kalangan perguruan tinggi, bahkan terdapat puluhan skripsi mahasiswa yang membahas hal itu. Berikut ini sebuah abstraksi dari skripsi di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, dengan judul Analisa Filsafat Terhadap Marhaenisme. Berbeda dengan kajian selama ini, skripsi tersebut menyimpulkan bahwa kurang tepat bila Sukarno disebut seorang Marxis, karena banyaknya revisi Sukarno terhadap Marxisme. Karena itu dapat disimpulkan bahwa Bung Karno lebih tepat digolongkan sebagai penganut tradisi pemikiran Marxis. Sebab cara berpikir Sukarno menunjukkan ciri-ciri tradisi pemikiran Marxis, yaitu dengan melihat sesuatu melalui titik pandang cara produksi (mode of production). Yang jauh lebih penting, melalui Marhaenisme Sukarno juga menunjukkan dirinya memiliki pandangan jauh ke depan. Marhaenisme yang merupakan antitesa dari praktek-praktek imperialisme yang dengan serakah menguras kekayaan dari Indonesia, dapat dianggap sebagai perintis dari teori Dependensia (ketergantungan) yang muncul di tahun 1960-an.

Konsep-konsep dan strategi yang dihasilkan oleh teori Dependensia (misalnya kemandirian dan pribumisasi Marxisme) ternyata telah dijalankan oleh Sukarno pada tahun 1930-an. Selain itu dialog-dialog emansipatoris yang dilakukan Sukarno untuk melaksanakan Marhaenisme, kemudian juga menjadi inti dari Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt yang muncul pada tahun 1970-an.

Terkait dengan kesimpulan ini adalah hasil pemikiran Bung Karno yang orisinal, yaitu Marhaenisme. Menurut kajian ini, Marhaenisme adalah suatu antitesa terhadap imperialisme. Sukarno menyusun Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia, yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.

Dari analisa filsafat terhadap Marhaenisme yang menjadi fokus skripsi ini terbukti bahwa Sukarno hanya mengambil elemen penting Marxisme, yaitu metode berpikirnya yang disebut historis materialisme, untuk diramu dengan dua elemen yang mengandung aspek modernitas yang diperlukan bangsa Indonesia: nasionalisme dan demokrasi. Itulah latar belakang ucapan Sukarno, “Marhaenisme merupakan Marxisme yang ditrapkan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia”.


TRADISI MARXIS DALAM PEMIKIRAN BUNG KARNO

Tetapi Sukarno tidak hanya mengetrapkan Marxisme. Ia juga secara berani dan kreatif merevisi Marxisme. Di antaranya dengan menyingkirkan peran dominan proletar untuk diganti oleh Marhaen. Marhaen adalah kaum melarat di Indonesia, yang berbeda dengan proletar, masih memiliki alat-alat produksi, walau dalam skala kecil. Teori Marxis lain yang tidak dipakai Sukarno adalah perjuangan kelas, karena ia melihat di Indonesia justru diperlukan persatuan dari berbagai golongan agar bisa mengusir kolonialisme yang telah berkolaborasi dengan kapitalisme dan imperialisme itu. Dan berbeda dengan Marx yang tidak menyukai nasionalisme, justru Sukarno menganggap peran penting nasionalisme untuk melawan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia. Dari banyaknya revisi Sukarno terhadap Marxisme, dapat disimpulkan bahwa kurang tepat bila Sukarno disebut seorang Marxis. Ia lebih tepat digolongkan sebagai penganut tradisi pemikiran Marxis. Sebab cara berpikir Sukarno menunjukkan ciri-ciri tradisi pemikiran Marxis, yaitu dengan melihat sesuatu melalui titik pandang cara produksi (mode of production). Yang jauh lebih penting, melalui Marhaenisme Sukarno juga menunjukkan dirinya memiliki pandangan jauh ke depan. Marhaenisme yang merupakan antitesa dari praktek-praktek imperialisme yang dengan serakah menguras kekayaan dari Indonesia, dapat dianggap sebagai perintis dari teori Dependensia (ketergantungan) yang muncul di tahun 1960-an. Konsep-konsep dan strategi yang dihasilkan oleh teori Dependensia (misalnya kemandirian dan pribumisasi Marxisme) ternyata telah dijalankan oleh Sukarno pada tahun 1930-an. Selain itu dialog-dialog emansipatoris yang dilakukan Sukarno untuk melaksanakan Marhaenisme, kemudian juga menjadi inti dari Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt yang muncul pada tahun 1970-an.

Sejarah Marhaenisme Bung Karno

Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.

Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.

Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.

Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.

Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.

Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.

Apakah Marhaenisme itu?
Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen. Seorang letterzetter adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya. Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya disebutkan “proletar intelektual”.
Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.
Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.
Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.
Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti: faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed), adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum Marhaenis.
Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.
Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!


UBK 2001-2003





Tidak ada komentar:

Posting Komentar